Minggu, 23 April 2017

STRATEGI PERLINDUNGAN EKOSISTEM HUTAN MANGROVE

Oleh
Franki Chandra Utama, S. Hut., M. Si
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Unit V Bengkulu Selatan




PENDAHULUAN

Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh beberapa jenis pohon yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut dan pantai berlumpur. Hutan mangrove banyak ditemui di pantai, teluk yang dangkal, estuaria, delta dan daerah pantai yang terlindung. Ekosistem Mangrove di Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang tertinggi di dunia dengan jumlah total kurang lebih 89 spesies yang terdiri dari 35 spesies tanaman, 9 spesies perdu, 9 spesies liana, 29 spesies epifit dan 2 spesies parasit (Nontji, 1987).
Hutan mangrove di Indonesia sangat banyak dan hampir di setiap kawasan pesisir ataupun daerah estuaria terdapat mangrove. Hutan mangrove merupakan jenis atau tipe hutan yang masih dipengaruhi oleh pasang surut karena pada saat pasang akan tergenang dan pada saat surut akan bebas dari genangan.
Hutan mangrove  membawa dampak yang baik bagi daerah estuaria maupun bagi manusia yang bermukim di sekitar pesisir. Manfaat dari hutan mangrove adalah melindungi pantai dari abrasi, sebagai tempat mencari makan dan berlindung bagi organisme laut maupun darat. Adapun manfaat hutan mangrove bagi manusia adalah sebagai bahan baku untuk bahan bakar, sebagai bahan makanan alternatif, dan sebagainya
Namun seiring berkembangnya zaman dan banyaknya orang yang bermukim di daerah pesisir maka sebagian orang memanfaatkan lahan mangrove sebagai lahan pemukiman dengan cara menebang hutan mangrove dan juga mereka mengekploitasi secara besar-besaran sehingga hutan mangrove semakin berkurang. Oleh karena itu perlu diadakan upaya perbaikan dan pemulihan sehingga mangrove yang ada sekarang tidak semakin berkurang demi masa depan generasi selanjutnya. Pengenalan rehabilitasi mangrove akan memberi motivasi masyarakat dalam menghijaukan kembali pesisir dan pantai.
Tulisan ini berusaha menggambarkan secara umum hutan mangrove dan strategi rehabilitasi hutan hangrove. Sehingga di harapkan agar hutan mangrove tetap terjaga keberadaannya.

Menurut Peraturan Menteri Kehutanan No.03/MENHUT-V/2004 rehabilitasi hutan mangrove adalah upaya mengembalikan fungsi hutan mangrove yang mengalami degradasi, kepada kondisi yang dianggap baik dan mampu mengemban fungsi ekologis dan ekonomis.
Dalam kerangka pengelolaan dan pelestarian mangrove, terdapat dua konsep utama yang dapat diterapkan. Kedua konsep ini pada dasarnya memberikan legitimasi dan pengertian bahwa mangrove sangat memerlukan pengelolaan dan perlindungan agar dapat tetap lestari. Kedua konsep tersebut adalah perlindungan hutan mangrove dan rehabilitasi hutan mangrove.
Kegiatan penghijauan yang dilakukan terhadap utan-hutan yang telah gundul, merupakan salah satu upaya rehabilitasi yang bertujuan bukan saja untuk mengembalikan nilai estetika, namun yang paling utama adalah untuk mengembalikan fungsi ekologis kawasan hutan mangrove tersebut. Kegiatan seperti ini menjadi salah satu andalan kegiatan rehabilitasi di beberapa kawasan hutan mangrove yang telah ditebas dan dialihkan fungsinya kepada kegiatan lain. Kegiatan rehabilitasi hutan mangrove sendiri telah dirintis sejak tahun 1960 di kawasan pantai utara Pulau Jawa.
Sekitar 20.000 ha hutan mangrove yang rusak di pantai utara Pulau Jawa dilaporkan telah berhasil direhabilitasi dengan menggunakan tanaman utama Rhizophora spp dan Avicennia spp dengan persentumbuh hasil penanaman berkisar antara 60-70%.

Fungsi dan Peranan Rehabilitasi Mangrove
Rehabilitasi hutan mangrove dilaksanakan untuk memulihkan dan meningkatkan fungsi lindung, fungsi pelestarian dan fungsi produksi (Kementrian Lingkungan Hidup, 1994).
Program rehabilitasi dan konservasi dimaksudkan untuk memulihkan atau memperbaiki kualitas tegakan yang sudah rusak serta mempertahankannya. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk menjaga fungsi hutan baik sebagai penghasil kayu, penjaga intrusi air laut, abrasi, serta sebagai penyangga kehidupan tetap terjaga (Aqsa, 2010).
Rehabilitasi hutan mangrove merupakan bagian dari sistem pengelolaan hutan mangrove yang merupakan bagian integral dari pengelolaan kawasan pesisir secara terpadu yang ditempatkan pada kerangka Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai unit manajemen. Penyelenggaraan rehabilitasi hutan mangrove yang dimaksud ditujukan untuk memulihkan sumberdaya hutan yang rusak sehingga berfungsi optimal dalam memberikan manfaat kepada seluruh pihak yang berkepentingan, menjamin keseimbangan lingkungan dan tata air Daerah Aliran Sungai (DAS) dan kawasan pesisir, mendukung kelangsungan industri berbasis sumberdaya mangrove. Tujuan tersebut dapat dicapai jika penanganan kawasan dilakukan secara tepat, adanya kelembagaan yang kuat, dan teknologi rehabilitasi yang tepat guna berorientasi pada pemanfaatan yang jelas (DKP, 2010).


Manfaat Mangrove dalam perikanan
Ekosistem mangrove memiliki manfaat yang salah satunya sebagai penunjang kegiatan perikanan baik perikanan tangkap maupun budidaya. Menurut Departemen Kelautan dan Perikanan (2005), ekosistem mangrove secara khusus sangat penting bagi kegiatan perikanan mengingat bahwa: 
1.       Berbagai jenis organisme laut menjadikan ekosistem mangrove sebagai habitat.
2.      Ekosistem mangrove menyediakan tempat perlindungan dan habitat aman bagi larva dan juvenil ikan serta sumber makanan dari serasah yang membusuk.
3.    Ekosistem mangrove menyediakan tempat untuk pemijahan, periode pelagik dan rekruitmen spesies ikan dan udang.
4.     Ekosistem mangrove menjadi tempat berlindung bagi organisme yang bersifat plankton yang terdorong arus ke pantai.
5.     Ekosistem mangrove membentuk hubungan yang penting dalam siklus hidup berbagai biota termasuk ikan komersial tinggi.
Menurut Supriharyono (2000), menyatakan bahwa peranan hutan mangrove yaitu sebagai tempat pemijahan (spawning ground), daerah pengasuhan (nursery ground) dan mencari makan (feeding ground) bagi ikan, kepiting, udang dan moluska. Sementara itu, menurut Nontji (2005) menyatakan di kawasan mangrove Indonesia sedikitnya tercatat 80 jenis krustasea, dan 65 jenis moluska. Lokasi dan potensi produksi perikanan udang di Indonesia mempunyai kaitan erat dengan lokasi serta luas hutan mangrove di dekatnya. Selain udang, beberapa jenis ikan komersial juga mempunyai kaitan dengan mangrove misalnya bandeng dan belanak.

Penyebab Kerusakan Hutan Mangrove
Kerusakan terhadap hutan mangrove dapat terjadi secara alamiah atau adanya tekanan oleh masyarakat yang tinggal di sekitar hutan mangrove. Secara alamiah timbul karena adanya peristiwa alam seperti adanya topan badai atau iklim yang berkepanjangan yang menyebabkan akumulasi garam dalam tanaman mangrove (Murdiyanto, 2003). Menurut Simbolon (1990), gangguan yang serius terhadap kelestarian hutan mangrove yaitu terjadinya perombakan hutan dan penebangan liar. Gangguan lainnya adalah pelanggaran dalam pelaksanaan pengusahaan hutan dan adanya sedimentasi.
Ada tiga faktor utama penyebab kerusakan hutan mangrove (Kusmana, 2002) yaitu :
1. Pencemaran.
Pencemaran yang terjadi pada areal hutan mangrove terutama disebabkan oleh minyak dan logam berat. Dua sumber utama pencemaran areal mangrove ini merupakan dampak negatif dari kegiatan pelayaran, industri serta kebocoran pada pipa/tanker industri dan tumpahan dalam pengangkutan.
2. Konversi lahan hutan mangrove.
Konversi hutan mangrove untuk budidaya perikanan, lahan pertanian, jalan raya, industri, perkotaan, pertambangan, penggalian pasir dan sebagainya.
3. Penebangan yang berlebihan.
Penebangan kayu mangrove secara legal maupun ilegal untuk produksi kayu bakar, arang dan chip telah berlangsung lama. Eksploitasi tersebut dilakukan secara berlebihan sehingga telah menimbulkan kerusakan dan menurunkan fungsi atau potensi  produksi hutan mangrove.
Selanjutnya, Kusmana (2002) mengemukakan adanya faktor – faktor pendukung penyebab kerusakan hutan mangrove yang antara lain adalah pertumbuhan ekonomi memerlukan tersedianya sarana dan prasarana transportasi terutama jalan raya, terminal, pelabuhan dan prasarana lainnya, urbanisasi dan sebagainya merupakan indikator terjadinya peningkatan aktivitas perekonomian.  Peningkatan aktivitas perekonomian seperti ini ikut mempercepat terjadinya kerusakan areal hutan mangrove.

Pengelolaan dan Pelestarian Hutan Mangrove
Dalam pengelolaan dan pelestarian hutan mangrove, menurut Bengen (2001) terdapat dua konsep utama yang dapat diterapkan yaitu perlindungan hutan mangrove dan rehabilitasi hutan mangrove.Salah satu cara yang dapat dilakukan dalam rangka mengupayakan perlindungan terhadap keberadaan hutan mangrove adalah dengan menunjuk suatu kawasan mangrove untuk menjadi kawasan hutan konservasi, dan suatu bentuk sabuk hijau di sepanjang pantai dan tepi sungai. Bentuk perlindungan hutan mangrove seperti ini cukup efektif dilakukan dan membawa hasil, contohnya seperti yang dapat dilihat di Pulau Rambut dan Pulau Dua, Jawa Barat yang telah ditunjuk sebagai suatu kawasan suaka margasatwa (Dahuri, 2001).

Kebijakan dan Peraturan Pengelolaan Hutan Mangrove
Menurut Departemen Kelautan dan Perikanan (2005), terdapat beberapa kebijakan – kebijakan dasar dalam pengelolaan hutan mangrove yang antara lain, meliputi :
1. Untuk kawasan mangrove yang masih asli atau mendekati kondisi asli, harus dilakukan pengelolaan dengan tujuan pelestarian dan konservasi. Pengelolaan dengan tujuan pelestarian dan konservasi ini terus dipertahankan sebelum tersedia data dan informasi untuk menganalisis dampak bentuk pengelolaan lainnya.
2.   Untuk kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan pemanfaatan, misalnya untuk budidaya ramah lingkungan, pariwisata, maka harus mengedepankan pendekatan kehati – hatian (precautionary approach), khususnya apabila tidak tersedia informasi tentang pemanfaatannya secara berkelanjutan.
3.    Apabila direncanakan pemanfaatan ekonomi, khususnya yang menyebabkan hilangnya mangrove seperti industri, permukiman, pertanian dan pertambakan, maka perlu diambil seperti analisis dampak lingkungan, audit lingkungan dan rencana pengelolaan lingkungan.
4.   Untuk kawasan mangrove yang berfungsi sebagai jalur hijau, berada pada pantai yang rawan erosi, bantaran sungai dan mengurangi dampak negatif fenomena alam seperti badai tropis, maka harus dilakukan pengelolaan untuk perlindungan dan konservasi.

Strategi pelestarian hutan mangrove
Strategi pelestarian hutan mangrove yang digunakan adalah pelestarian dengan melibatkan masyarakat. Pelestarian hutan mangrove adalah merupakan suatu usaha yang sangat kompleks untuk dilaksanakan, karena kegiatan tersebut sangat membutuhkan suatu sifat akomodatif terhadap segenap elemen yang berada di sekitar kawasan maupun di luar kawasan. 
Salah satu strategi yang dapat diterapkan dalam konteks pengelolaan ekosistem hutan mangrove adalah pengelolaan berbasis masyarakat (Community Based Management). Dahuri (2001) mengemukakan bahwa pengelolaan berbasis masyarakat mengandung arti keterlibatan langsung masyarakat dalam mengelola sumberdaya alam di suatu kawasan. Tujuan mendasar dari pengelolaan ekosistem mangrove adalah untuk meningkatkan konservasi, rehabilitasi dan pemanfaatan berkelanjutan ekosistem mangrove (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2005). Tujuan ini dapat dicapai melalui prinsip :
1.    Pengelolaan ekosistem mangrove yang mengedepankan prinsip kehati – hatian (precautionary) dengan mempertimbangkan praktek yang sudah ada, kearifan, keyakinan dan kebiasaan masyarakat setempat.
2.     Pengelolaan mangrove yang didasarkan pada pendekatan ekosistem dengan mempertimbangkan kegiatan dan dampaknya baik di kawasan hulu dan hilir.
3.     Pengelolaan kawasan mangrove yang berorientasi pada keberlanjutan fungsi lingkungan dan nilai – nilai ekologi untuk mendukung kesejahteraan masyarakat, utamanya masyarakat pesisir.
4.  Upaya mitigasi dampak lingkungan akibat aktivitas pembangunan di kawasan ekosistem mangrove.
5.    Pengelolaan ekosistem mangrove merupakan proses berulang (interative process) yang terdiri atas perencanaan, pelaksanaan, pemeliharaan dan pemanfaatan lestari serta didukung dengan upaya – upaya pembinaan dan pengendalian yang konsisten dan berkelanjutan.
6.  Pengelolaan ekosistem mangrove yang berlandaskan pada asas keterpaduan, keberlanjutan, desentralisasi, dan perencanaan berbasis masyarakat.

Penutup

Hutan mangrove  membawa dampak yang baik bagi daerah estuaria maupun bagi manusia yang bermukim di sekitar pesisir. Manfaat dari hutan mangrove adalah melindungi pantai dari abrasi, sebagai tempat mencari makan dan berlindung bagi organisme laut maupun darat. Adapun manfaat hutan mangrove bagi manusia adalah sebagai bahan baku untuk bahan bakar, sebagai bahan makanan alternatif, dan sebagainya
Namun seiring berkembangnya zaman dan banyaknya orang yang bermukim di daerah pesisir maka sebagian orang memanfaatkan lahan mangrove sebagai lahan pemukiman dengan cara menebang hutan mangrove dan juga mereka mengekploitasi secara besar-besaran sehingga hutan mangrove semakin berkurang. Oleh karena itu perlu diadakan upaya perbaikan dan pemulihan sehingga mangrove yang ada sekarang tidak semakin berkurang demi masa depan generasi selanjutnya. Pengenalan rehabilitasi mangrove akan memberi motivasi masyarakat dalam menghijaukan kembali pesisir dan pantai.



DAFTAR PUSTAKA

Aqsa, Muhammad . 2010.Rehabilitasi Dan Konservasi Mangrove Dalam Menunjang Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Selat Tiworo http://Mimpi22.Wordpress.Com/2010/10/12/Rehabilitasi-Dan-Konservasi-Mangrove-Dalam-Menunjang-Kawasan-Konservasi-Laut-Daerah-Kkld-Selat-Tiworo/ [Diakses tanggal 23 Juni 2016]

Dahuri, R. 2003. Keaneka Ragaman Hayati Laut : Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia,        PT. Gramedia Pustaka Umum. Jakarta.

Dahuri, R., J. Rais, S.P. Ginting dan M.J. Sitepu. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan secara Terpadu. Pradnya Paramita, Jakarta. 

 DKP, 2010. Rehabilitasi Di Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil http://diskanlut- ateng.go.id/index.php/read/news/detail/62 [Diakses tanggal 23 Juni 2016]

Engen Dietriech. G. 2001. Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. PKSPL – IPB, Bogor. 

Kusmana, C. 2002. Ekologi Mangrove. Fakultas Kehutanan – IPB Bogor.

Nontji, A. 1987.Laut Nusantara. Penerbit Djambatan. Jakarta.

PP. No.60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan

Supriharyono, 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumberdaya Alam di Wilayah PesisirTropis.  PT. Gramedia Pustaka Umum Jakarta, Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SEPIT KANCING, WISATA ALAM DALAM KAWASAN HUTAN BENGKULU SELATAN

Oleh : Franki Chandra Utama Provinsi Bengkulu ternyata memiliki potensi wisata alam yang sangat eksotis diantara nya adalah Sepit Ka...