Selasa, 09 Agustus 2016

Kearifan Lokal Suku Serawai dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup



Oleh
Franki Chandra Utama, S. Hut., M. Si
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Unit V Bengkulu Selatan




PENDAHULUAN

Kondisi lingkungan Indonesia menghasilkan keanekaragaman ekosistem beserta sumber daya alam, melahirkan manusia Indonesia yang berkaitan erat dengan kondisi alam dalam melakukan berbagai aktivitas untuk menunjung kelangsungan hidupnya. Manusia Indonesia menaggapi alam sebagai guru pemberi petunjuk gaya hidup masyarakat, yang terlahir dalam bentuk kebiasaan alami yang dituangkan menjadi adat kehidupan yang berorientasi pada sikap alam terkembang menjadi guru (Salim, 2006).
Kearifan lokal merupakan warisan nenek moyang kita dalam tata nilai kehidupan yang menyatu dalam bentuk religi, budaya dan adat istiadat. Dalam perkembangannya masyarakat melakukan adaptasi terhadap lingkungannya dengan mengembangkan suatu kearifan yang berwujud pengetahuan atau ide, peralatan, dipadu dengan norma adat, nilai budaya, aktivitas mengelola lingkungan guna mencukupi kebutuhan hidupnya (Suhartini, 2009)
Selain itu menurut Sartini (2004) kearifan lokal memiliki beberapa fungsi    seperti konservasi dan pelestarian sumber daya alam (sebagai petuah, nilai   kepercayaan, karya sastra dan unsur pantangan), juga dapat bermakna sosial (untuk upacara-upacara adat).
Suku Serawai merupakan suku bangsa kedua terbesar yang hidup di daerah Bengkulu. Sebagian besar masyarakat suku Serawai berdiam di Kabupaten Bengkulu Selatan.  Kabupaten   Bengkutu  Selatan  merupakan  salah  satu  kabupaten  di  Provinsi Bengkulu   yang  dibentuk   berdasarkan  UU Darurat  No. 4  Tahun  1956   tentang  Pembentukan    Daerah  Otonomi   Kabupaten  dalam   Lingkungan   Provinsi   Sumatera Selatan.  Luas wilayah Kabupaten Bengkulu Selatan sebelum pemekaran   adalah seluas 5.949.14 km. Namun berdasarkan   UU No.  3  Tahun   2003  tentang  Pembentukan Kabupaten Bengkulu Selatan, Kabupaten  Kaur  dan   Kabupaten Seluma,   Kabupaten   Bengkutu   Selatan   dimekarkan sehingga   setelah   pemekaran Iuas  wilayahnya   menjadi   1.185.70  km atau  19,93  % yang  merupakan    wilayah daratan, sedangkan luas  wilayah  lautan   dengan  panjang   garis  pantai   60 km dan dengan  luas  pengeloaan  4 mil, maka  luas  keseluruhan  wilayah  lautan,  yaitu  384 km2  atau  38.400  ha. Dengan demikian Luas wilayah Kabupaten Bengkulu Selatan secara keseluruhan. Yaitu 156.970 ha atau 1.569,70 km2 (Bappeda Bengkulu Selatan, 2010).
Sejak dahulu,  kearifan lokal digunakan  oleh  komunitas  adat tertentu untuk menjadi   pedoman   dalam   mengatur pranata  sosial  di  lingkungannya  agar  hidup berjalan dengan baik,  tertib dan terhindar dari malapetaka. Demikian juga yang terjadi   di Suku Serawai, Wilayah pemukiman masyarakat suku serawai dibatasi oleh samudra Hindia di sisi sebelah barat dan bukit barisan di sisi sebelah timur. Selaifi itu, tidak sedikit juga yang bermukim di sekitar kawasan hutan.  Keadaan  geografis seperti ini menyebabkan rawannya masyarakat  untuk masuk  ke  hutan  bahkan membuka  lahan  baru  untuk  perkebunan  dan sejenisnya, sehingga muncul   aturan-aturan adat yang  menjadi  pedoman  untuk mengatur pranata sosial tentang pembukaan lahan tersebut.   Namun   seiring   kemajuan   zaman menyebabkan nilai-nilai ini terancam luntur dan dianggap kuno oleh kebanyakan kalangan generasi berikutnya.  Tidak banyak generasi kini yang memahami nilai-nilai kearifan lokal dengan baik. Untuk itu perlu mempelajari kembali pemikiran atau gagasan yang sudah tertanam lama dalam   masyarakat asli   di daerah tersebut.  Akan Iebih baik jika kepercayaan yang sudah lama tertanam di masyarakat    menjadi   sumber   atau   rujukan dalam pengambilan keputusan terutama dalam hal kebijakan yang berkaitan dengan Iingkungan. Nilai-nilai yang terkandung dalam  kepercayaan  masyarakat  secara  turun menurun  seperti ini baik merupakan  larangan maupun  anjuran  biasanya  mengandung  nilai-nilai karakter  yang  merupakan  sebuah  pesan yang bermanfaat  bagi penerusnya.  Ini berarti pendidikan karakter di   masyarakat ternyata sudah ada sejak lama.  Hal tersebut tentunya dapat    dimanfaatkan    di dalam kehidupan sehari-hari, termasuk juga di dalam   dunia pendidikan. Ini sinergis   dengan   amanat pendidikan nasional yang mengharuskan pendidikan karakter sebagai bagian dari target dan tujuan pendidikan di sekolah.  Untuk itu perlu kiranya   menggali nilai-nilai kearifan lokal yang telah lama menjadi pedoman di suatu suku untuk dijadikan sebagai pertimbangan dalam memformat pendidikan karakter di sekolah.
Berdasarkan uraian di atas, artikel ini akan membahas mengenai kearifan lokal masyarakat suku serawai dalam melestarikan lingkungan yaitu membuka lahan, dengan harapan artikel ini bermanfaat untuk semua pihak yang peduli terhadap kelestarian kearifan lokal.
1.    Kearifan Lokal Suku Serawai ( Bengkulu Selatan)
Nilai-nilai kearifan lokal yang masih dipelihara dengan baik di suku  Serawai adalah aturan adat tentang pembukaan lahan baru untuk pertanian, perkebunan ataupun perumahan. Nilai adat ini mempunyai kepercayaan tersendiri yang mungkin berbeda dengan suku lain di sekitarnya.  Kepercayaan tentang   pembukaan    lahan   ini   diwariskan secara turun temurun. Pengetahuan tentang filosofi nilai adat ini   tidak didapatkan di bangku sekolah.  Masyarakat suku serawai mengenal 7 (tujuh)   etika yang dikenal dengan nama kaji lapiek, yaitu:
1.        Ulu Tulung  Buntu
Suatu   istilah   atau   sebutan   tanah/lahan datar   yang   terdapat   lembah   di salah satu sisinya, dimana lembah tersebut tidak memiliki mata air. Berdasarkan kepercayaan masyarakat tanah/lahan seperti ini tidak baik atau tidak boleh ditempati atau dibuka untuk ladang, kebun ataupun rumah.  Banyak kejadia kesialan atau musibah yang dikaitkan dengan keadaan pelanggaran etika seperti ini. Diantaranya adalah meninggalnya salah   satu anggota   keluarga   tanpa   adanya alasan yang   jelas,    atau   adanya    anggota keluarga    terkena    penyakit-penyakit aneh, misalnya stres, gila dan lain-lain.. Menurut kepercayaan, keadaan lahan seperti mempunyai penghuni makhluk halus/jin yang suka mengganggu   manusia. Hal ini sesuai pendapat Siombo (2011),    salah   satu sifat hukum adat adalah religio-magis. Koentjaraningrat (1996) juga    mengatakan bahwa sifat hukum adat memiliki empat unsur yaitu:   kepercayaan    pada makhluk-makhluk halus, kepercayaan kepada kekuatan sakti, anggapan   bahwa kekuatan sakti yang luar biasa itu dipergunakan sebagai magische kracht,    dan    anggapan    bahwa    kelebihan kekuatan   sakti   dalam   alam   menyebabkan keadaan   menyebabkan timbulnya berbagai macam   bahaya   gaib   yang   hanya dapat    dihindari    dengan    berbagai    macam pantangan.
Beberapa nilai fendidikan  karakter yang dapat  kita  ambil  dari  etika  ulu  tulung  buntu ini  adalah   1)  religius,   dimana   masyarakat harus percaya dengan adanya makhluk gaib ciptaan Tuhan, sebagai rnana di dalam ajaran agarna bahwa  tempat persembunyian  jin  dan sebangsanya  adalah di hutan, gunung, lembah dan   lautan;   2)   toleransi,   yaitu   sikap   dan perilaku yang rnencerminkan penghargaan terhadap perbedaan kepercayaan sehingga walaupun tidak mempercayai hal-hal ghaib, tetapi tetap menghormati  aturan yang ada.
2.        Sepelancar Perahu
Istilah yang menggarnbarkan larangan mernbuka   suatu   lahan,   tanah,   ladang atau kebun yang tengah-tengahnya dilewati jalan setapak. Pengertiannya adalah larangan untuk mernbuka   lahan baru di mana di tengah-tengah lahan tersebut terdapat jalan yang memang sudah lama ada. Jalan tersebut bisa dipakai oleh manusia maupun hewan. Keadaan seperti ini tidak dianjurkan untuk dipaksakan dibuka guna ditanami tanaman tertentu. Kepercayaan masyarakat yang melarang karena jalan tersebut bukan hanya dilewati oleh   manusia,   tetapi juga   dilewati oleh binatang buas dan makhluk halus. Nilai   karakter yang dapat kita petik dari etika ini yaitu   peduli    social, sikap    dan perbuatan yang mencerminkan kepedulian terhadap orang lain maupun masyarakat. Dengan menghorrnati aturan ini masyarakat akan saling menghargai   mengingat jalan yang telah ada sebelumnya adalah jalan umum.  Pembukaan   lahan ditengah-tengah jalan bisa mengganggu kenyamanan yang melewati jalan   tersebut, yang   dapat   mengakibatkan persoalan di kemudian hari.
3.         Kijang  Ngulangi  Tai
Suatu istilah yang menggambarkan larangan untuk membuka sebidang lahan kemudian meninggalkan lahan tersebut untuk beberapa waktu lama karena membuka lahan baru di tempat lain.  Pada akhirnya kembali lagi ke lahan lama dan menggarap lahan yang ditinggalkan terdahulu. Keadaan ini dapat diartikan sebagai penggunaan lahan yang berpindah-pindah dan tidak   bertanggung jawab. Tentunya, dari sudut padang ilmu lingkungan hal seperti ini tidak dapat dibenarkan, karena akan merusak lingkungan dengan tidak terkendali.
Nilai   pendidikan    karakter   yang   dapat diserap  dari etika  ini yaitu:   1) peduli lingkungan, sikap dan tindakan yang selalu berupaya  menjaga  dan  melestarikan lingkungan  sekitar,  sehingga sebagai manusia yang sudah berbudaya perilaku berpindah-pindah ladang selayaknya tidak dilakukan  karena akan merusak lingkungan yang ditinggalkan;  2) tanggung jawab,  sikap dan perilaku seseorang dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya, baik yang berkaitan dengan diri sendiri, sosial, masyarakat. Meninggalkan lahan yang telah dikerjakan merupakan tindakan tidak bertanggungjawab, sehingga munculnya larangan tersebut sebagai bentuk dari pembinaan mental agar masyarakat mempunyai rasa tanggungjawab dalam setiap tindakan yang dilakukan.
4.         Macao Merunggu
Istilah   larangan   untuk   membuka   lahan yang terpisah antara lahan yang akan dibuka dengan lahan yang sudah dibuka orang lain secara   berkelompok dan dimana lahan yang akan   dibuka   tersebut   dibatasi    oleh   hutan rimba. Namun, dapat juga diartikan larangan untuk. Membuka lahan baru di tengah-tengah hutan rimba atau lahannya dikelilingi hutan rimba. Tentunya dalam ha! resiko, keadaan seperti ini mempunyai    efek   yang besar terhadap gangguan binatang buas maupun resiko-resiko lainnya, karena membuka  lahan sendiri yang terpencar  dengan  kelompok lainnya  akan  membahayakan   dari  ancaman yang tidak  terduga.  Jika dilanggar pinsip ini bakal mendapat sial atau musibah.
Nilai pendidikan karakter yang  dapat diambil  dari etika  ini yaitu:  I) peduli  sosial, dimana manusia sebagai makhluk sosial perlu menjaga komunitas antar manusia tidak terpisah dari komunitas lain,  sehingga dilarang bercocok tanam atau membuka lahan baru yang terpisah jauh  dari   kelompok lainnya,  karena  selain berbahaya  hal ini juga menentang kodrat manusia sebagai makhluk sosial; 2) komunikatif,  senang bersahabat atau proaktif, yakni sikap dan tindakan terbuka tcrhadap  orang lain melalui komunikasi  yang santun sehingga tercipta kerja sama secara kolaboratif  dengan baik.  Ini menggambarkan kekompakan antar komunitas yang ada dan menggarap lahan   yang sewilayah. Komunikasi yang terjalin dengan baik akan membangun   kerjasama yang baik pula dalam segala urusan yang berkaitan dengan kepentingan penggunaan lahan.
5.         Sepit Panggang
Keadaan  dimana  suatu  lahan  berupa kebun,  rumah,  sawah  atau  yang  lain terjepit diantara  lahan  milik  sebuah  keluarga  besar atau orang-orang yang masih ada hubungan darah. Orang yang memiliki lahan atau tanah yang tejepit   tersebut   menurut   kepercayaan akan selalu berada dalam bayang-bayang musibah. Dengan demikian, jangan pemah memiliki lahan tanah yang terdapat    diantara satu keluarga besar yang masih ada hubungan pertalian darah. Keadaan ini diibaratkan seperti ikan yang dijepit oleh alat pemanggang dan diletakan di atas api yang menyala. Kita dapat membayangkan  apa yang akan  terjadi  dengan  ikan  yang  dijepit  tadi, selain  gosong dan terbakar.
Nilai karakter yang dapat diambil dari etika ini yaitu cinta damai,  yakni  sikap  dan perilaku yang rnencerrninkan  suasana damai, aman, tenang, dan  nyaman   atas   kehadiran dirinya   dalam   komunitas   atau   masyarakat tertentu. Dalam pengertian adalah menghindari potensi konflik kepentingan yang mungkin terjadi diantara interaksi anggota keluarga besar, dan menghindari keterlibatan diri akibat berada di tengah-tengah keluarga mereka.
6.         Bapak Menunggu Anak
Lstilah yang menggambarkan sebuah lahan perkebunan atau pertanian yang mempunyai struktur tanah cekungan yang demikian dalam, dimana lahan tersebut diolah sebagian dan menyisakan sebagian lagi kearah pusat cekungan. Keadaan seperti ini dianggap tidak baik.  Sama dengan resiko pada kelima   etika sebelumnya keadaan seperti dapat mendatangkan sial bagi pemilik atau pengelolanya.
Nilai   karakter   yang   dapat   dipetik   dari etika  ini yaitu:  I)  tanggung jawab,  sebagai mana   seharusnya   sifat  manusia,   sebaiknya tidak melakukan pekerjaan yang setengah-setengah karena menunjukkan  pekerjaan yang separuh  hati;  2) kerja  keras,  keadaan  seperti ini  menuntut  seseorang  bekerja  keras menuntas  pekerjaan  supaya  tidak menimbulkan persoalan baru yang membahayakan.   Bagi   seorang   petani   etika kerja keras    harus    terintemalisasi     dalam dirinya untuk memperoleh penghidupan yang layak. 
7.         Nunggu  Sangkup
Istilah yang menggambarkan keadaan dimana seseorang yang memiliki lahan atau tanah, tetapi di salah  satu sisi lahan tersebut tekstur atau keadaan tanahnya buruk sehingga orang  itu  membuka  lahan  baru  di  seberang lahan  dengan  meninggalkan   sebagian  lahan yang dianggapnya kualitasnya buruk tadi, dengan  asumsi  seolah-olah  lahan-lahan tersebut  adalah  satu.  Kasus  seperti  ini dapat diartikan  bahwa  orang  tersebut  tidak bersyukur,  karena hanya menginginkan  tanah yang bagus saja dan meninggalkan sebagian tanah   yang   dianggapnya   kualitasnya   tidak bagus   tanpa  berpikir   keras  untuk   mencari jalan   keluar  terhadap   lahan  yang  dianggap buruk tadi.
Nilai  karakter  yang  dapat  kita  serap  dari istilah  ini  yaitu:  1) tanggung jawab,   dalam pengertian  melakukan  suatu  pekerjaan  harus mengupayakan    obyek   pekerjaan   itu  dapat dilakukan  dan  dimanfaatkan  sebaik-baiknya. Menyisakan  sebagian  pekerjaan  lainnya yang masih   ada  di  wilayah   kita  dengan   alasan kualitas  lahan yang  kurang baik adalah bukti tidak   bertanggung   jawa; 2)  peduli lingkungan,   etika   ini   mengajarkan   bahwa semua    lingkungan     itu    bermanfaat    bagi manusia,     karena     dengan     aka!    budinya manusia  mampu  membuat  mengelola  segala jenis   kondisi  lahan,  baik  yang  masih  baik maupun   yang   sudah   rusak   untuk   diambil manfaatnya  bagi  manusia;  3)  kreatif,  yakni sikap    dan    perilaku    yang    mencerminkan inovasi dalam berbagai segi dalam memecahkan masalah, sehingga selalu menemuka cara-cara baru, bahkan   hasil-hasil  baru  yang  lebih  baik  dari  sebelumnya. Dengan larangan tersebut menyebabkan pemilik lahan   berusaha untuk menemukan hal-hal   baru dalam   menangani lahan yang dianggap tidak produktif.

Berdasarkan uraian di atas terdapat 9 (sembilan) macam nilai pendidikan karakter yang muncul berasal dari etika suku Serawai, yakni religius,  toleransi,  peduli  sosial, peduli lingkungan, tanggung jawab, komunikatif, cinta  damai,  kerja  keras  dan  kreatif. 
2.    Penutup.
Kearifan lokal sesungguhnya mengandung banyak sekali keteladanan dan kebijaksanaan hidup. Pentingnya kearifan lokal dalam pendidikan kita secara luas adalah bagian dari upaya meningkatkan ketahanan nasional kita sebagai sebuah bangsa. Pendidikan karakter bukan sekedar mengajarkan sesuatu yang benar dan yang salah tetapi pendidikan karakter juga menanamkan kebiasaan (habituation) tentang hal yang baik sehingga peserta didik menjadi paham (kognitif) tentang mana yang benar dan salah, mampu merasakan (afektif) nilai yang baik dan biasa melakukannya (psikomotor).
Etika   Suku   Serawai   dalam pembukaan   lahan, tanah atau ladang merupakan   nilai-nilai kearifan lokal   yang telah menjadi pedoman dalam kehidupan bermasyarakat suku tersebut. Kearifan local tersebut di atas dapat menjadi cerminan pemeliharaan sumber daya alam ke depan, dalam bentuk pembangunan yang berkelanjutan. Pembangunan yang menghasilkan, namun tetap arif terhadap alam.
 Adapun etika suku serawai dalam pembukaan hutan, tanah dan ladang terdiri dari 7 (tujuh) etika yaitu ulu talang buntu, sepelancar perahu, sepit panggang, nunggu sangkup, kijang ngulangi tai, macoa merungu, bapak menunggu anak. Sedangkan nilai pendidikan karakter yang berasal dari etika tersebut , yakni religius,  toleransi,  peduli  sosial, peduli lingkungan, tanggung jawab, komunikatif, cinta  damai,  kerja  keras  dan  kreatif.                  

DAFTAR PUSTAKA


Koentjaraningrat.1996. Pengantar Antropologi.    Jakarta:    Rineka   Cipta.   

Salim. 2006. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial.Yogyakarta. Tiara Wacana.

Sartini, 2004. Menggali Karifan Lokal Nusantara Sebuah Kajian Filsafati. Jurnal Filsafat. Jilid 37 (2):

Siombo, Marliaeni Ria. 2011. Kearifan Lokal dalam Perspektif Hukum Lingkungan. Jurnal Hukum;  8 (3)

Suhartini. 2009. Kajian Kearifan Lokal MasyarakatDalam Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Prosiding SeminarNasional Penelitian. Pendidikan dan Penerapan MIPA. Jurusan Pedidikan Biologi FMIPA. UNY. Jogjakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SEPIT KANCING, WISATA ALAM DALAM KAWASAN HUTAN BENGKULU SELATAN

Oleh : Franki Chandra Utama Provinsi Bengkulu ternyata memiliki potensi wisata alam yang sangat eksotis diantara nya adalah Sepit Ka...