Oleh
PENDAHULUAN
Franki Chandra Utama, S. Hut., M. Si
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Unit V Bengkulu Selatan
Email : frankichandra50@gmail.com
PENDAHULUAN
Kondisi
lingkungan Indonesia menghasilkan keanekaragaman ekosistem beserta sumber daya
alam, melahirkan manusia Indonesia yang berkaitan erat dengan kondisi alam
dalam melakukan berbagai aktivitas untuk menunjung kelangsungan hidupnya.
Manusia Indonesia menaggapi alam sebagai guru pemberi petunjuk gaya hidup
masyarakat, yang terlahir dalam bentuk kebiasaan alami yang dituangkan menjadi
adat kehidupan yang berorientasi pada sikap alam terkembang menjadi guru
(Salim, 2006).
Kearifan
lokal merupakan warisan nenek moyang kita dalam tata nilai kehidupan yang
menyatu dalam bentuk religi, budaya dan adat istiadat. Dalam perkembangannya
masyarakat melakukan adaptasi terhadap lingkungannya dengan mengembangkan suatu
kearifan yang berwujud pengetahuan atau ide, peralatan, dipadu dengan norma adat,
nilai budaya, aktivitas mengelola lingkungan guna mencukupi kebutuhan hidupnya
(Suhartini, 2009)
Selain
itu menurut Sartini (2004) kearifan lokal memiliki beberapa fungsi seperti konservasi dan pelestarian sumber daya
alam (sebagai petuah, nilai kepercayaan, karya sastra dan unsur
pantangan), juga dapat bermakna sosial (untuk upacara-upacara adat).
Suku
Serawai merupakan suku bangsa kedua terbesar yang hidup di daerah Bengkulu.
Sebagian besar masyarakat suku Serawai berdiam di Kabupaten Bengkulu Selatan. Kabupaten
Bengkutu Selatan merupakan
salah satu kabupaten
di Provinsi Bengkulu yang
dibentuk berdasarkan UU Darurat
No. 4 Tahun 1956
tentang Pembentukan Daerah
Otonomi Kabupaten dalam
Lingkungan Provinsi
Sumatera Selatan. Luas wilayah
Kabupaten Bengkulu Selatan sebelum pemekaran
adalah seluas 5.949.14 km. Namun berdasarkan UU No.
3 Tahun 2003
tentang Pembentukan Kabupaten
Bengkulu Selatan, Kabupaten Kaur dan
Kabupaten Seluma, Kabupaten Bengkutu
Selatan dimekarkan sehingga setelah
pemekaran Iuas wilayahnya menjadi
1.185.70 km atau 19,93
% yang merupakan wilayah daratan, sedangkan luas wilayah
lautan dengan panjang
garis pantai 60 km dan dengan luas
pengeloaan 4 mil, maka luas
keseluruhan wilayah lautan,
yaitu 384 km2 atau
38.400 ha. Dengan demikian Luas
wilayah Kabupaten Bengkulu Selatan secara keseluruhan. Yaitu 156.970 ha atau 1.569,70
km2 (Bappeda Bengkulu Selatan, 2010).
Sejak
dahulu, kearifan lokal digunakan oleh
komunitas adat tertentu untuk menjadi pedoman
dalam mengatur pranata sosial
di lingkungannya agar
hidup berjalan dengan baik,
tertib dan terhindar dari malapetaka. Demikian juga yang terjadi di
Suku Serawai, Wilayah pemukiman masyarakat suku serawai dibatasi oleh samudra
Hindia di sisi sebelah barat dan bukit barisan di sisi sebelah timur. Selaifi itu,
tidak sedikit juga yang bermukim di sekitar kawasan hutan. Keadaan
geografis seperti ini menyebabkan rawannya masyarakat untuk masuk
ke hutan bahkan membuka lahan
baru untuk perkebunan dan sejenisnya, sehingga muncul aturan-aturan adat yang menjadi
pedoman untuk mengatur pranata
sosial tentang pembukaan lahan tersebut.
Namun seiring kemajuan
zaman menyebabkan nilai-nilai ini terancam luntur dan dianggap kuno oleh
kebanyakan kalangan generasi berikutnya.
Tidak banyak generasi kini yang memahami nilai-nilai kearifan lokal
dengan baik. Untuk itu perlu mempelajari kembali pemikiran atau gagasan yang sudah
tertanam lama dalam masyarakat
asli di daerah tersebut. Akan Iebih baik jika kepercayaan yang sudah
lama tertanam di masyarakat
menjadi sumber atau
rujukan dalam pengambilan keputusan terutama dalam hal kebijakan yang
berkaitan dengan Iingkungan. Nilai-nilai yang terkandung dalam kepercayaan
masyarakat secara turun menurun
seperti ini baik merupakan
larangan maupun anjuran biasanya
mengandung nilai-nilai
karakter yang merupakan
sebuah pesan yang bermanfaat bagi penerusnya. Ini berarti pendidikan karakter di masyarakat ternyata sudah ada sejak
lama. Hal tersebut tentunya dapat dimanfaatkan di dalam kehidupan sehari-hari, termasuk
juga di dalam dunia pendidikan. Ini sinergis dengan
amanat pendidikan nasional yang mengharuskan pendidikan karakter sebagai
bagian dari target dan tujuan pendidikan di sekolah. Untuk itu perlu kiranya menggali nilai-nilai kearifan lokal yang telah
lama menjadi pedoman di suatu suku untuk dijadikan sebagai pertimbangan dalam
memformat pendidikan karakter di sekolah.
Berdasarkan uraian di atas, artikel
ini akan membahas mengenai kearifan lokal masyarakat suku serawai dalam
melestarikan lingkungan yaitu membuka lahan, dengan harapan artikel ini
bermanfaat untuk semua pihak yang peduli terhadap kelestarian kearifan lokal.
1.
Kearifan Lokal Suku Serawai (
Bengkulu Selatan)
Nilai-nilai kearifan lokal yang masih dipelihara dengan baik di suku Serawai adalah aturan adat tentang pembukaan lahan baru untuk pertanian, perkebunan ataupun perumahan. Nilai adat ini mempunyai kepercayaan tersendiri
yang mungkin berbeda dengan suku lain di sekitarnya. Kepercayaan tentang pembukaan lahan
ini
diwariskan secara turun temurun.
Pengetahuan tentang filosofi
nilai adat ini tidak didapatkan di bangku sekolah.
Masyarakat suku serawai mengenal 7
(tujuh) etika yang dikenal dengan nama kaji lapiek, yaitu:
1.
Ulu Tulung Buntu
Suatu istilah
atau
sebutan tanah/lahan datar yang terdapat lembah
di salah satu sisinya, dimana lembah
tersebut tidak memiliki mata air. Berdasarkan
kepercayaan masyarakat tanah/lahan seperti ini
tidak baik atau tidak boleh ditempati atau dibuka untuk ladang,
kebun ataupun rumah. Banyak kejadia kesialan atau musibah yang
dikaitkan dengan keadaan pelanggaran etika seperti ini. Diantaranya adalah meninggalnya salah satu
anggota keluarga tanpa
adanya alasan yang jelas, atau adanya
anggota keluarga terkena penyakit-penyakit aneh, misalnya
stres, gila dan lain-lain.. Menurut kepercayaan, keadaan lahan seperti mempunyai penghuni makhluk halus/jin yang suka mengganggu manusia.
Hal ini sesuai pendapat Siombo (2011),
salah satu sifat hukum adat adalah religio-magis.
Koentjaraningrat (1996) juga mengatakan bahwa sifat hukum adat memiliki empat unsur yaitu: kepercayaan pada makhluk-makhluk halus, kepercayaan kepada kekuatan sakti, anggapan bahwa kekuatan sakti yang luar biasa itu dipergunakan sebagai magische
kracht,
dan anggapan bahwa
kelebihan kekuatan sakti
dalam
alam
menyebabkan keadaan menyebabkan
timbulnya berbagai macam bahaya gaib
yang hanya dapat dihindari
dengan
berbagai macam pantangan.
Beberapa nilai fendidikan karakter yang dapat kita ambil
dari
etika
ulu tulung buntu ini adalah 1) religius, dimana
masyarakat harus percaya dengan adanya makhluk gaib
ciptaan Tuhan, sebagai rnana di dalam ajaran
agarna bahwa tempat persembunyian jin dan sebangsanya adalah di hutan, gunung, lembah dan
lautan;
2)
toleransi, yaitu sikap dan perilaku yang rnencerminkan penghargaan terhadap perbedaan
kepercayaan sehingga walaupun tidak mempercayai hal-hal ghaib, tetapi tetap menghormati
aturan yang ada.
2.
Sepelancar
Perahu
Istilah yang menggarnbarkan larangan mernbuka suatu lahan,
tanah, ladang atau kebun yang
tengah-tengahnya dilewati jalan
setapak. Pengertiannya adalah larangan untuk
mernbuka lahan baru di mana di tengah-tengah
lahan tersebut terdapat jalan yang
memang sudah lama ada. Jalan tersebut bisa dipakai oleh manusia maupun
hewan. Keadaan seperti ini tidak
dianjurkan untuk dipaksakan dibuka guna
ditanami tanaman tertentu.
Kepercayaan masyarakat yang melarang
karena jalan tersebut bukan hanya
dilewati oleh manusia, tetapi juga dilewati oleh binatang
buas dan makhluk halus. Nilai karakter yang dapat kita petik dari etika ini yaitu peduli social, sikap dan perbuatan yang mencerminkan
kepedulian terhadap orang lain maupun masyarakat. Dengan menghorrnati aturan ini
masyarakat akan saling
menghargai mengingat jalan yang telah ada sebelumnya adalah jalan umum. Pembukaan lahan
ditengah-tengah jalan bisa mengganggu kenyamanan yang melewati jalan tersebut, yang
dapat
mengakibatkan persoalan di kemudian hari.
3.
Kijang Ngulangi Tai
Suatu istilah yang
menggambarkan larangan untuk membuka sebidang lahan kemudian meninggalkan lahan tersebut
untuk beberapa waktu lama karena membuka lahan baru di tempat lain. Pada akhirnya kembali lagi ke lahan lama dan menggarap lahan yang
ditinggalkan terdahulu. Keadaan ini dapat
diartikan sebagai penggunaan lahan yang berpindah-pindah dan tidak bertanggung jawab. Tentunya, dari sudut padang ilmu lingkungan hal seperti ini tidak dapat dibenarkan, karena akan merusak lingkungan dengan tidak terkendali.
Nilai pendidikan karakter yang
dapat diserap dari etika ini
yaitu: 1) peduli lingkungan, sikap dan tindakan yang selalu berupaya menjaga dan melestarikan lingkungan
sekitar, sehingga sebagai manusia yang sudah berbudaya
perilaku berpindah-pindah ladang
selayaknya tidak dilakukan karena
akan merusak lingkungan yang ditinggalkan;
2) tanggung
jawab, sikap dan perilaku seseorang
dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya, baik yang berkaitan
dengan diri sendiri, sosial, masyarakat. Meninggalkan lahan
yang telah dikerjakan merupakan tindakan tidak bertanggungjawab, sehingga munculnya
larangan tersebut sebagai bentuk dari pembinaan mental agar
masyarakat mempunyai rasa tanggungjawab dalam setiap tindakan
yang dilakukan.
4.
Macao Merunggu
Istilah larangan untuk
membuka
lahan yang terpisah antara lahan yang
akan dibuka dengan lahan yang sudah dibuka orang lain secara berkelompok dan dimana lahan yang akan dibuka
tersebut dibatasi oleh hutan rimba. Namun, dapat juga diartikan larangan untuk. Membuka lahan baru di tengah-tengah hutan rimba atau lahannya dikelilingi hutan rimba. Tentunya dalam ha! resiko, keadaan seperti ini mempunyai
efek
yang besar terhadap gangguan
binatang buas maupun resiko-resiko
lainnya, karena membuka
lahan sendiri yang terpencar dengan kelompok lainnya akan membahayakan dari ancaman yang tidak terduga. Jika
dilanggar pinsip ini bakal mendapat sial atau musibah.
Nilai pendidikan karakter
yang dapat diambil dari etika ini yaitu:
I) peduli
sosial,
dimana manusia
sebagai makhluk sosial perlu
menjaga komunitas antar manusia tidak terpisah dari komunitas
lain, sehingga dilarang bercocok
tanam atau membuka lahan baru yang terpisah jauh dari kelompok lainnya, karena
selain berbahaya hal ini juga
menentang kodrat manusia sebagai makhluk
sosial; 2) komunikatif, senang
bersahabat atau proaktif, yakni sikap dan tindakan terbuka tcrhadap orang lain melalui komunikasi yang santun sehingga tercipta kerja sama secara kolaboratif dengan baik. Ini menggambarkan kekompakan antar komunitas yang ada
dan menggarap lahan yang sewilayah. Komunikasi yang terjalin dengan baik
akan membangun kerjasama yang baik pula dalam segala urusan yang berkaitan
dengan kepentingan penggunaan
lahan.
5.
Sepit Panggang
Keadaan
dimana suatu lahan
berupa kebun, rumah, sawah
atau yang lain terjepit diantara lahan
milik sebuah keluarga
besar atau orang-orang yang masih ada hubungan darah. Orang yang
memiliki lahan atau tanah yang tejepit
tersebut menurut kepercayaan akan selalu berada dalam bayang-bayang
musibah. Dengan demikian, jangan pemah memiliki lahan tanah yang terdapat diantara satu keluarga besar yang masih ada
hubungan pertalian darah. Keadaan ini diibaratkan seperti ikan yang dijepit
oleh alat pemanggang dan diletakan di atas api yang menyala. Kita dapat
membayangkan apa yang akan terjadi
dengan ikan yang
dijepit tadi, selain gosong dan terbakar.
Nilai karakter yang dapat diambil dari
etika ini yaitu cinta damai, yakni sikap
dan perilaku yang rnencerrninkan
suasana damai, aman, tenang, dan
nyaman atas kehadiran dirinya dalam
komunitas atau masyarakat tertentu. Dalam pengertian adalah
menghindari potensi konflik kepentingan yang mungkin terjadi diantara interaksi
anggota keluarga besar, dan menghindari keterlibatan diri akibat berada di
tengah-tengah keluarga mereka.
6.
Bapak Menunggu Anak
Lstilah yang menggambarkan
sebuah lahan perkebunan atau pertanian
yang mempunyai struktur tanah cekungan yang demikian dalam, dimana lahan tersebut
diolah sebagian dan menyisakan sebagian
lagi kearah pusat cekungan. Keadaan
seperti ini dianggap tidak baik. Sama dengan resiko pada kelima etika sebelumnya keadaan seperti dapat
mendatangkan sial bagi pemilik atau pengelolanya.
Nilai karakter yang
dapat
dipetik
dari etika ini yaitu: I)
tanggung jawab,
sebagai mana
seharusnya sifat
manusia, sebaiknya tidak melakukan pekerjaan
yang setengah-setengah karena menunjukkan pekerjaan
yang separuh hati; 2) kerja keras, keadaan seperti ini menuntut seseorang bekerja keras
menuntas pekerjaan supaya tidak menimbulkan persoalan baru yang membahayakan.
Bagi seorang
petani
etika kerja keras harus terintemalisasi dalam dirinya untuk memperoleh penghidupan
yang layak.
7.
Nunggu Sangkup
Istilah yang menggambarkan keadaan dimana seseorang yang memiliki lahan atau tanah, tetapi di salah
satu sisi lahan tersebut
tekstur atau keadaan tanahnya
buruk sehingga orang itu
membuka lahan baru di seberang lahan dengan meninggalkan sebagian lahan yang dianggapnya kualitasnya buruk tadi, dengan asumsi seolah-olah lahan-lahan tersebut adalah
satu. Kasus seperti ini dapat diartikan bahwa orang
tersebut tidak bersyukur, karena hanya menginginkan tanah yang bagus saja
dan meninggalkan sebagian tanah yang dianggapnya kualitasnya tidak bagus tanpa berpikir keras untuk
mencari jalan keluar
terhadap lahan yang dianggap buruk tadi.
Nilai karakter
yang
dapat
kita
serap
dari
istilah ini yaitu: 1) tanggung jawab,
dalam pengertian melakukan
suatu
pekerjaan
harus
mengupayakan obyek pekerjaan itu dapat dilakukan dan dimanfaatkan
sebaik-baiknya. Menyisakan
sebagian
pekerjaan
lainnya yang masih ada di wilayah
kita dengan
alasan kualitas lahan yang kurang
baik adalah bukti tidak bertanggung jawa; 2) peduli lingkungan, etika ini
mengajarkan bahwa semua lingkungan itu
bermanfaat bagi manusia, karena dengan aka!
budinya manusia mampu membuat
mengelola
segala
jenis kondisi lahan, baik
yang
masih
baik
maupun yang
sudah
rusak
untuk
diambil manfaatnya bagi
manusia;
3)
kreatif, yakni sikap dan
perilaku yang
mencerminkan inovasi dalam berbagai segi
dalam memecahkan masalah, sehingga selalu menemuka cara-cara baru, bahkan hasil-hasil
baru
yang
lebih
baik
dari
sebelumnya.
Dengan larangan tersebut menyebabkan pemilik lahan berusaha untuk menemukan hal-hal baru dalam menangani lahan yang dianggap tidak produktif.
Berdasarkan uraian di atas terdapat
9 (sembilan) macam nilai pendidikan karakter yang muncul berasal dari etika suku Serawai, yakni religius, toleransi, peduli
sosial, peduli lingkungan, tanggung jawab, komunikatif, cinta
damai,
kerja
keras dan kreatif.
2. Penutup.
Kearifan lokal sesungguhnya mengandung
banyak sekali keteladanan dan kebijaksanaan hidup. Pentingnya kearifan lokal
dalam pendidikan kita secara luas adalah bagian dari upaya meningkatkan
ketahanan nasional kita sebagai sebuah bangsa. Pendidikan karakter bukan
sekedar mengajarkan sesuatu yang benar dan yang salah tetapi pendidikan
karakter juga menanamkan kebiasaan (habituation) tentang hal yang baik
sehingga peserta didik menjadi paham (kognitif) tentang mana yang benar dan
salah, mampu merasakan (afektif) nilai yang baik dan biasa melakukannya
(psikomotor).
Etika
Suku Serawai dalam pembukaan lahan, tanah atau ladang merupakan nilai-nilai kearifan lokal yang telah menjadi pedoman dalam kehidupan
bermasyarakat suku tersebut. Kearifan local tersebut di atas dapat menjadi
cerminan pemeliharaan sumber daya alam ke depan, dalam bentuk pembangunan
yang berkelanjutan. Pembangunan yang menghasilkan, namun tetap arif terhadap
alam.
Adapun etika suku serawai dalam pembukaan
hutan, tanah dan ladang terdiri dari 7 (tujuh) etika yaitu ulu talang buntu,
sepelancar perahu, sepit panggang, nunggu sangkup, kijang ngulangi tai, macoa
merungu, bapak menunggu anak. Sedangkan nilai pendidikan karakter yang berasal dari etika tersebut , yakni religius, toleransi, peduli
sosial, peduli lingkungan, tanggung jawab,
komunikatif, cinta damai, kerja keras dan kreatif.
DAFTAR PUSTAKA
Koentjaraningrat.1996.
Pengantar Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Salim. 2006. Teori dan Paradigma
Penelitian Sosial.Yogyakarta. Tiara Wacana.
Sartini,
2004. Menggali Karifan Lokal Nusantara Sebuah Kajian Filsafati. Jurnal
Filsafat. Jilid 37 (2):
Siombo, Marliaeni
Ria. 2011. Kearifan
Lokal dalam Perspektif Hukum Lingkungan.
Jurnal Hukum; 8 (3)
Suhartini.
2009. Kajian Kearifan Lokal
MasyarakatDalam Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Prosiding
SeminarNasional Penelitian. Pendidikan dan Penerapan MIPA. Jurusan Pedidikan
Biologi FMIPA. UNY. Jogjakarta